Sebuah badan penelitian menunjukkan bahwa pilihan wanita terhadap kriteria fisik tertentu dari seorang pria dipengaruhi oleh hal-hal di luar kendali kesadaran mereka seperti halnya penyakit atau kejahatan dan dengan cara yang bisa diprediksi.
Fitur maskulin-rahang besar, misalnya, atau alis menonjol-cenderung mencerminkan sifat-sifat fisik dan perilaku berupa kekuatan dan agresif. Fitur maskulin juga terkait erat dengan fisiologis, seperti kejantanan dan sistem kekebalan tubuh yang baik.
Apa yang tampak di permukaan penelitian terlihat sangat menarik, padahal tidak selalu demiikian. Sikap agresif akan menjadi positif ketika diarahkan pada ancaman dari luar, tapi bukan pada urusan hati.
Atau, kecakapan seksual yang biasanya lekat dengan pria berpotensi banyak keturunan, tetapi juga sering dihubungkan dengan pergaulan bebas atau membangkang pada orangtua.
Jadi, setiap kali seorang wanita harus memilih pasangan, ia harus mempertimbangkan apakah bisa menempatkan karakter pria pada tempat yang benar.
Alasan beragam disampaikan para peneliti
Dalam sebuah makalah yang diterbitkan awal tahun ini, Dr DeBruine dari Universitas Aberdeen menemukan bahwa wanita di negara-negara dengan statistik kesehatan yang buruk cenderung memilih pria maskulin daripada wanita yang pada kondisi sebaliknya. Alasannya, pada negara di mana penyakit tersebar luas, penduduk wanitanya ingin melahirkan keturunan yang sehat.
Namun, apa yang disampaikan Dr DeBruine dibantah oleh Robert Brooks dari Universitas New South Wales. Dalam penelitiannya, ia melihat kembali data Dr DeBruine dan tiba pada kesimpulan berbeda.
Dr Brooks menunjukkan bahwa bukan faktor kesehatan, melainkan persaingan dan lingkungan yang keras yang menjelaskan kecenderungan seorang wanita memilih pria maskulin.
Dr Brooks dalam penelitian yang telah dipublikasikan dalam Proceedings of the Royal Society ini berargumen bahwa semakin keras lingkungan di mana wanita berada, maka semakin mereka menyukai pria maskulin. Karena, pria maskulin dianggap lebih baik dalam memberikan kenyamanan daripada pria bertipe lembut.
Fitur maskulin-rahang besar, misalnya, atau alis menonjol-cenderung mencerminkan sifat-sifat fisik dan perilaku berupa kekuatan dan agresif. Fitur maskulin juga terkait erat dengan fisiologis, seperti kejantanan dan sistem kekebalan tubuh yang baik.
Apa yang tampak di permukaan penelitian terlihat sangat menarik, padahal tidak selalu demiikian. Sikap agresif akan menjadi positif ketika diarahkan pada ancaman dari luar, tapi bukan pada urusan hati.
Atau, kecakapan seksual yang biasanya lekat dengan pria berpotensi banyak keturunan, tetapi juga sering dihubungkan dengan pergaulan bebas atau membangkang pada orangtua.
Jadi, setiap kali seorang wanita harus memilih pasangan, ia harus mempertimbangkan apakah bisa menempatkan karakter pria pada tempat yang benar.
Alasan beragam disampaikan para peneliti
Dalam sebuah makalah yang diterbitkan awal tahun ini, Dr DeBruine dari Universitas Aberdeen menemukan bahwa wanita di negara-negara dengan statistik kesehatan yang buruk cenderung memilih pria maskulin daripada wanita yang pada kondisi sebaliknya. Alasannya, pada negara di mana penyakit tersebar luas, penduduk wanitanya ingin melahirkan keturunan yang sehat.
Namun, apa yang disampaikan Dr DeBruine dibantah oleh Robert Brooks dari Universitas New South Wales. Dalam penelitiannya, ia melihat kembali data Dr DeBruine dan tiba pada kesimpulan berbeda.
Dr Brooks menunjukkan bahwa bukan faktor kesehatan, melainkan persaingan dan lingkungan yang keras yang menjelaskan kecenderungan seorang wanita memilih pria maskulin.
Dr Brooks dalam penelitian yang telah dipublikasikan dalam Proceedings of the Royal Society ini berargumen bahwa semakin keras lingkungan di mana wanita berada, maka semakin mereka menyukai pria maskulin. Karena, pria maskulin dianggap lebih baik dalam memberikan kenyamanan daripada pria bertipe lembut.